Menelusuri Jejak Kaum Pendatang di Nusantara

AKI TIREM SANG AKI LUHUR MULYA
Orang orang yang datang berturut turut dari berbagai daerah itu masing-masing ada pemimpinnya. Di antara keturunannya ada yang saling berperang, lalu mereka yang telah lebih dahulu datang dan telah lama menetap dikalahkan oleh kaum pendatang baru. Akan tetapi, ada juga yang saling mengasihi dan saling membantu karena mereka mempunyai tujuan yang sama.

Semakin lama, penduduk ini semakin meresap dan menyebar ke berbagai daerah di Nusantara. Adapun yang menyebabkan kaum pendatang itu sangat senang dan tinggal di sini (Nusantara) adalah:
1.    pulau pulau di bumi Nusantara ini subur tanahnya;
2.    subur tumbuh tumbuhannya;
3.    kehidupan penduduknya bahagia;
4.    serbaneka rempah rempah ada di sini; dan
5.    menjadikan kehidupan penduduk makmur sejahtera.

Pakaian yang dikenakan pribumi di sini berupa cawat kayu, daun-daunan, atau rumput. Mereka selalu membawa tombak, gada, busur, dan panah, serta berbagai jenis senjata lainnya. Mereka tinggal di hutan, ada yang hidup berkelompok, ada juga yang selalu bersembunyi, ada yang mernisahkan diri, ada pula yang bersama keluarganya di lereng bukit.

Tiap kelompok yang hidup di salah satu kampung, dipimpin oleh seorang Panghulu sebagai penguasa kampung. Rumah Sang Panghulu, selalu dijadikan sebagai tempat bermusyawarah. Rumah sang pemimpin ini, terhitung besar dan berpanggung (berkolong), sedangkan beberapa keluarga penduduk tinggal bersama dalam satu rumah di bawah pimpinan seorang kepala rumah tangga yang sudah cukup berumur dan terpandang. Demikian pula halnya dengan Sang Panghulu, ia adalah orang yang sangat berwibawa. Di Jawa Kulwan (Barat) ada beberapa panghulu pribumi semacarn itu. Demikian pula di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan pulau pulau lain di Nusantara. Keadaan itu terjadi sebelum awal tarikh Saka.

Mereka datang di Nusantara dengan menumpang perahu dari kayu besar berbentuk rakit (getek), tetapi ada juga yang memakai perahu dari betung besar atau kayu hutan. Di atas rakit itu didirikan rumah dengan atap rumput. Mereka bertolak dari daerah asalnya, dan siang malam mereka berperahu dari hilir sungai ke arah selatan, menuju lautan. Akan tetapi, ada juga yang tempat tinggal asalnya di tepi laut. Mereka berlayar ke beberapa pulau, sampai akhirnya mereka itu tiba di Pulau Jawa. Banyak di antara perahu perahu itu hancur di tengah laut, karena dihantam ombak atau terseret angin besar, sehingga perahunya terlunta lunta dan terpisah dari kelompok perahu lainnya.

Adapun yang menyebabkan pengungsian besar (panigit agheng) itu, adalah:
1.    tempat asalnya selalu kekeringan;
2.    terjadi bencana gempa bumi; dan
3.    musim kemarau yang berkepanjangan.

Akibatnya, mereka menderita kekurangan makanan, dan terpaksa hidup di hutan memakan daun-daunan, tumbuhan, tunas, dan daging hasil buruan. Karena itulah, mereka senantiasa ingin mencari tanah yang subur di pulau-pulau Nusantara. Satu di antaranya adalah Nusa Jawa.

Setibanya di sini, mereka menetap dan hidup bersama ibarat satu keluarga. Anak, cucu, dan keluarga, masing masing membuat rumah. Rumah mereka itu berderet; ada yang kecil dan ada yang besar dan tinggi. Untuk sementara, makanan sehari hari adalah daging hasil berburu di hutan. Lama kelamaan, tempat tinggal mereka itu menjadi kampung (dukuh). Pakaian sehari hari terbuat dari kulit kayu.

Kehidupan penduduk lama dan baru itu, hampir sama seperti di negeri asal mereka. Makanan sehari-harinya adalah daging, ikan, buah buahan, tunas, daun-daunan, umbi umbian, dan rempah rempah. Sang Panghulu yang menjadi pemimpinnya, menguasai berbagai ilmu mantera, selalu bertapa, melaksanakan sembah hiyang, melepaskan rakyatnya dari ancaman bencana sihir, memberi berkah, mernimpin upacara perkawinan dan berdoa, melindungi adat, serta bertindak adil dan bersikap lemah lembut. Singkatnya, Sang Panghulu yaitu Sang Datu, siang malam selalu mengharapkan agar rakyatnya hidup sejahtera, dan kampung tempat tinggal mereka makmur sentosa di bumi ini.

Yang dipuja penduduk waktu itu bermacam macarn, tetapi yang terutama ialah arwah leluhur (hiyang). Mereka memohon kepada arwah yang dipujanya dengan doa pujaan lengkap, dengan tata upacara dan sembah hiyang serta sajen. Tujuannya adalah agar terkabul cita citanya. Ada yang ingin terlepas dari kenistaan, bertambah hasil usaha tani atau dagangnya, mengharap unggul dalam perang atau perkelahian, mengharap terlepas dari penderitaan, lalu orang yang susah mengharap kesejahteraan dan banyak harta, ada pula pria yang ingin mendapat isteri atau wanita yang rnengharapkan suami. Ada lagi yang mengharapkan kegagahan, mengalahkan musuhnya, mengharapkan berumur panjang, serta terluput dari bahaya dan macam macam harapan lagi.

Serbaneka pemujaan mereka adalah api, gunung, arwah leluhur, batu, pohon besar, kayu, darah, sungai, matahari, bulan dan bintang. Ada pemuja roh yang bersemayam di puncak gunung, karena menganggap roh penguasa isi gunung di seluruh dunia. Ada pula Yang memuja pohon rimbun.

Ada beberapa keluarga yang memasuki hutan dengan membawa harta bendanya, lalu menetap di sana. Mereka berburu hewan, lalu kulitnya dijadikan bahan pakaian, sedang dagingnya dijadikan bahan makanan. Pakaian kulit itu ada yang diberi lukisan menurut kehendak masing-masing, sedangkan batu batuan dan tulang, dijadikan perhiasan untuk anak isterinya dan berbagai macam perkakas.

Akan tetapi, pendatang baru makin lama makin banyak, sehingga orang pribumi terdesak dan hidup terlunta lunta memasuki hutan dan pegunungan. Terjadilah pengungsian besar besaran, karena kaum pendatang itu senantiasa memberikan kesusahan, kesengsaraan, dan kenistaan bagi orang pribumi, seolah mereka itu hamba sahaya bagi kaum pendatang baru. Kaum pribumi, merasa terhina dan sangat takut, karena siapapun di antara mereka yang berani melawan, akan ditangkap dan dibunuh. Kaum pribumi itu selalu kalah, karena mereka bodoh dan dalam segala hal terbelakang.

Sebaliknya, kaum pendatang baru memiliki berbagai ilmu pengetahuan, yaitu membuat panah dan perkakas dari besi, telah mengenal emas, perak, manik, permata, menguasai ilmu pembuatan busur dan panah (wedastra), dan ilmu memanah (dhanurweda), serta membuat aneka obat obatan, dan perahu dengan baik. Mereka telah menanam padi untuk kepeduan makan sehari hari, mengetahui ilmu perbintangan (panaksastra), membuat pakalan dan perhiasan yang indah dan bagus karena dihiasi ukiran, serta membuat wayang dari kulit diukir. Mereka pun telah mampu mendirikan rumah besar untuk keluarga, membuat api dengan batu api dan besi, serta membuat tabuh tabuhan untuk mengiringi tari.

Di samping itu, mereka telah menyusun peraturan tentang kampung dan uang, serta memiliki pengetahuan tentang gerhana, gempa bumi, ukuran, makanan, hari, tumbuhan, musim hujan, musim kemarau, ilmu tentang hutan, tentang hewan, tentang tanah, tentang gunung, tentang ucapan, lalu ilmu tentang rempah rempah, hutan dan gunung, ekonomi (swataning janapada) dan sebagainya.

Kaum pendatang dari negeri Yawana dan Syangka, yang termasuk ke dalam kelompok manusia purba tengahan (janna puruwwamadya), tiba kira-kira tahun 1.600 sebelum tarikh Saka. Kaum pendatang baru yang tiba di Pulau Jawa antara tahun 300 sampal 100 sebelum tarikh Saka, telah memiliki ilmu yang tinggi (widyanipuna). Mereka telah mengetahui cara memperdagangkan beraneka barang. Kaum pendatang kelompok ini, menyebar ke pulau pulau di Nusantara.

Zaman ini, oleh para mahakawi disebut zaman Besi (wesiyuga), karena mereka telah mampu membuat berbagai macam barang dan senjata dari besi, serta telah mengenal penggunaan emaa dan perak. Mereka merasuk ke desa desa yang dikunjunginya, seolah olah Pulau Jawa dan pulau pulau di Nusantara ini kepunyaan mereka semuanya. Pribumi yang tidak mau menurut atau menghalangi, segera dikalahkan, sehingga bukan saja maksudnya tidak berkesampaian, mereka pun harus menjadi bawahan yang tunduk kepada yang berkuasa.

…/ hana pwa sang panghulu athawa pangamasa mandala pasisir Jawa kulwan / bang kulwan ika prarrucnaran aki tirem athawa sang aki luhunnulya ngaranira waneh //

Terjemahannya:
Panghulu atau penguasa wilayah pesisir barat Jawa Barat sebelah barat, namanya Aki Tirem atau Sang Aki Luhur Mulya nama lainnya.

Selanjutnya, dalam naskah tersebut dikemukakan, tentang silsilah (asalusul) leluhur Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya:

Sang Aki Tirem, putera Ki Srengga namanya.
Ki Srengga putera Nyal Sariti Warawiri namanya.
Nyai Sariti puteri Sang Aki Bajulpakel namanya.
Sang Aki Bajulpakel, putera Aki Dungkul namanya dari Swarnabhumi (Sumatera) sebelah selatan, kemudian berdiam di Jawa Barat sebelah barat.

Selanjutnya Aki Dungkul, putera Ki Pawang Sawer namanya, berdiam di Swarnabhumi (Sumatera) sebelah selatan.
Ki Pawang Sawer, putera Datuk Pawang Marga namanya, berdiam di Swarnabhumi (Sumatera) sebelah selatan.
Datuk Pawang Marga, putera Ki Bagang namanya berdiam di Swarnabhumi (Sumatera) sebelah utara.

Ki Bagang, putera Datuk Waling namanva, yang berdiam di pulau Hujung Mendini.
Datuk Waling putera Datuk Banda namanya, ia berdiam di dukuh di tepi sungai.
Datuk Banda putera Nesan namanya, berdiaiu di wilayah Langkasuka.
Sedangkan nenek moyangnya dari negeri Yawana sebelah barat.

Jika mencermati The Hammond Atlas (terbitan Time, 1980, USA), di wilayah Propinsi Yunnan, terdapat sebuah kota kecil Yu wan, yang terletak di tepi sungal Yuan Mouw. Yu wan dalam bahasa Cina, ada kemiripan dengan Ya wa na, yang terdapat dalam naskah Pustaka Wangsakerta. Oleh karena itu, kota Yu wan, diduga kuat merupakan tanah leluhur Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya.

Sedangkan Yunnan sendiri, menurut para akhli, merupakan lembah bagian hulu sungai Yang Tze Kiang, yang mata airnya berasal dari pegunungan Himalaya bagian timur laut. Di wilayah ini sering terjadi gempa bumi, yang disebabkan adanya pergeseran lempeng anak benua India, yang bergerak ke arah utara dan membentur lempeng Asia. Sehingga membentuk pegunungan Himalaya, yang membentang dari arah barat di wilayah Kashmir, ke timur hingga ke wilayah perbatasan China, India dan Burma (Myanmar).

Adanya benturan dua lempeng tersebut, menimbulkan gempa tektonik, di sekitar wilayah bagian utara dan bagian timur laut pegunungan Himalaya. Bencana lain yang sering terjadi di wilayah ini, adalah banjir bandang (mendadak) yang sangat besar. Penyebabnya, akibat pencairan es; di puncak Himalaya pada saat musim semi.


Surga di Bumi Nusantara



Nusantara Bagaikan Surga Bagi Para Pendatang

Jauh sebelum ada kerajaan, Nusantara terkenal dengan keindahan alamnya serta tanahnya yang subur, sehingga banyak orang dari berbagai negeri di belahan dunia berdatangan ke bumi Nusantara. Mereka datang di Nusantara dengan menumpang perahu dari kayu besar berbentuk rakit (getek), tetapi ada juga yang memakai perahu dari betung besar atau kayu hutan. Di atas rakit itu didirikan rumah dengan atap rumput. Mereka bertolak dari daerah asalnya, dan siang malam mereka berperahu dari hilir sungai ke arah selatan, menuju lautan. Akan tetapi, ada juga yang tempat tinggal asalnya di tepi laut. Mereka berlayar ke beberapa pulau, sampai akhirnya mereka itu tiba di Pulau Jawa. Banyak di antara perahu perahu itu hancur di tengah laut, karena dihantam ombak atau terseret angin besar, sehingga perahunya terlunta lunta dan terpisah dari kelompok perahu lainnya.

Tambah lama, orang pendatang baru bertambah banyak. Dengan demikian orang pribumi terkucilkan, berkeliaran tanpa tujuan. Mengembara di hutan dan gunung gunung, bertambah banyaklah yang jadi pengungsi. Karena orang pendatang baru, senantiasa menyebabkan penderitaan yang terus menerus. Golongan pribumi senantiasa dihinakan.

Kenyataannya, ada di bawah perintah orang orang pendatang baru, terutama karena orang pribumi bertabiat pemalu dan penakut. Biarpun sering melawan, tetapi mereka dapat ditangkap dan dibunuh. Orang orang pribumi senantiasa kalah, karena bodoh, segalanya terbelakang. Sedangkan orang pendatang baru memiliki berbagai pengetahuan, ialah membuat senjata dari besi, berbagai perkakas dari besi, juga emas, perak, manik, kristal, kendaraan. Selanjutnya membuat berbagai senjata dari besi dengan gelang anak panahnya, pengetahuan tentang memanah, juga membuat berbagai obat obatan, begitu pula membuat perahu bagus. Mereka menanam padi, yang dijadikan makanan sehari hari.

Mereka juga telah mempunyal pengetahuan tentang perbintangan, membuat perlengkapan perang dari besi, membuat pakaian dan perhiasan yang indah indah. Bahkan diberi berbagai lukisan dan diukir pada besi itu. Wayang, dibuat dari kulit yang diukir. Mereka telah mampu membuat rumah besar, yang dihuni suami isteri dan kerabat laki laki dan wanita, membuat api dengan pemantik (paneker) dari batu dan besi. Selanjumya, mereka membuat tabuh-tabuhan pengiring orang menari. Kemudian dibuat kebijakan tentang perilaku yang baik di dusun, perilaku mengenai alat penukar. Mereka memiliki pengetahuan tentang gerhana, gempa bumi, pengetahuan tentang ukuran panjang: (1 yojana =100.000 depa), tentang makanan yang lezat, pengetahuan tentang hari, berbagai tumbuh tumbuhan, (musim) penghujan dan kemarau, pengetahuan tentang laut, pengetahuan tentang berbagai binatang, juga pengetahuan tentang tanah, gunung, dan pengetahuan tentang tutur kata.

Selanjutnya, mereka memiliki pengetahuan tentang rempah rempah, pengetalruan tentang hutan dan gunung, kesejahteraan warga masyarakat dan sebagainya. Bahkan, pendatang baru yang belakangan dari negeri Yawana, negeri Syangka, negeri Campa, Saimwang serta negeri Bharata (India) sebelah selatan, sangatlah pandai berbagai pengetahuan, yaitu manusia yang mahir ilmu pengetahuan, dikatakan oleh pribumi. Sedangkan pribumi di situ, ialah orang orang pendatang yang telah lama membuat perkakas dari batu, kayu dan tulang. Pakalan mereka dari serat kulit kayu, karena itu mereka disebut manusia purba pertengahan oleh mahakawi (pujangga besar) dalam tulisan mereka.

Dikatakannya, bahwa orang orang pendatang baru dari negeri Yawana dan negeri Syangka, termasuk manusia purba pertengahan, kira kira seribu enam ratus tahun sebelum permulaan tahun Saka. Ada juga pendatang baru yang tiba di Pulau Jawa, di antara tiga ratus tahun dan seratus tahun sebelum permulaan tahun Saka yang pertama. Mereka telah mahir dalam pengetahuan, sudah tahu mengenai hasil dari jasa dan perdagangan segala perlengkapan.

Pendatang ini menyebar ke pulau-pulau di bumi Nusantara. Demikianlah uraianmahakawi (pujangga besar), pada waktu itu disebut zaman besi. Itulah sebabnya mereka membuat berbagai perlengkapan perang, anak panah dan sebagainya dari besi, emas, dan perak. Mereka lebih pandai berbagai pengetahuannya. Oleh karena itu, mereka kemudian menyerang desa-desa yang didatangi, akibatnya Pulau Jawa dan pulau pulau di Nusantara menjadi milik mereka seluruhnya. Barang siapa yang tidak tunduk segera dibinasakan. Apabila bermaksud menyerang dan memeranginya, secepatnya dibinasakanlah mereka itu kemudian, maka maksud mereka tidak terlaksana, serta menyebabkan mereka menjadi manusia yang hina, sebagai pelayan orang yang berkuasa.

Begitu pula di antara seratus tahun pertama sebelum tahun Saka, hingga pertama tahun Saka, orang pendatang dari beberapa negara yang terletak di sebelah timur negeri Bharata (India). Oleh karena itu zaman besi disebut juga manusia pada zaman purba.

Pada awal tarikh Saka, datang orang-orang dari barat, yaitu dari negeri Syangka (Sri Langka), Sayiwahana, dan Benggala di bumi Bharatawarsya (India). Mereka tiba di Pulau Jawa dengan perahu. Mula-mula, mereka menuju ke Jawa Timur, lalu ke Jawa Barat, karena kegiatan perdagangan dengan penduduknya. Pribumi di sini, asal-usulnya juga orang orang pendatang dari kawasan benua utara, yang leluhurnya tiba di Pulau Jawa beberapa ratus tahun lebih dahulu.

Barang barang yang dibawa oleh para pendatang baru ini, di antaranya: bahan pakaian, perhiasan berupa ratna, emas, perak, permata, mustika, obat obatan, bahan bahan makanan, serta perabot kebutuhan rumah tangga. Adapun bahan bahan yang dibelinya di sini, yaitu rempah rempah serta hasil bumi seperti beras dan sayuran.

Di antara mereka ada yang terus menetap di sini, menjadi penduduk Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Bali. Demikian pula di Sumatera, dan di pulau pulau lain di Bumi Nusantara, yang disebut juga Dwipantara. Karena penduduk Pulau Jawa telah menguasai berbagai ilmu, mereka sangat menghargainya, tidak bermusuhan, dan kaum pendatang diterima sebagai tamu dengan penuh rasa kasih dan rasa persaudaraan.

Kehidupan penduduk di sini makmur. Mereka menamakan pulau pulau di bumi Dwipantara ini, terutama Pulau Jawa, laksana surga di muka bumi (samyasanya swargaloka haneng prethiwitala). Oleh karena itu, mereka selalu merasa bahagia hidupnya. Demikianlah keadaan mereka itu selama tinggal di sini. Banyak di antara mereka yang memperisteri gadis di sini, kemudian beranak pinak. 

Mereka mengetahui bahwa Pulau Jawa subur tanahnya, subur tumbuh tumbuhannya. Oleh karena itu, beberapa tahun kemudian, datanglah orang-orang dari Langkasuka, Saimwang, dan Ujung Mendini ke Jawa Kulwan (Barat) dan bumi Sumatera dengan perahu. Lalu mereka menetap di situ, karena berjodoh dengan putri penduduk. Selanjutnya mereka tidak kembali ke negeri asalnya. Kemudian mereka masing masing mendirikan rumah besar untuk tinggal keluarganya. Kolong rumah itu, digunakan untuk kandang tempat hewan peliharaan mereka.

Mereka bergabung untuk bergotong royong (samakarya), membangun rumah dan menebang pohon di hutan. Ikut pula bergabung akhli pembuat rumah (hundagi) dan pandai besi. Para pendatang dari India itu, ada yang mengajarkan agama yang dianutnya dan menyiarkan kepada penduduk di desa desa. Mereka mengajarkan pujaan yang disebut Dewa Iswara, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa yang disebut Trimurtiswara. Juga masih banyak Dewa lain yang dipujanya selain itu. Walaupun demikian, mereka tidak saling bertentangan dalam menyebarkan agamanya, karena mereka berhasil menemukan cara yang tepat.

Penduduk di sini keturunan kaum pendatang juga. Sejak dahulu, mereka memuja roh, bulan, matahari, dan sebagainya. Singkatnya, mereka itu mernuja roh (pitarapuja). Kaum pendatang baru dari India Selatan itu, telah rnenguasai berbagai ilmu, karena mereka telah mempelajarinya di negeri asalnya. Mereka tidak menghalangi pemujaan yang dianut penduduk di sini. Hanya nama pujaannya yang diganti, disesuaikan dengan adat penduduk di sini.

Dengan cara demikian, mereka tidak menemukan kesulitan untuk mempelajarinya. Demikianlah, pemujaan api disamakan dengan pemujaan Dewa Agni, pemujaan matahari disamakan dengan Dewa Aditya atau Dewa Surya, dan seterusnya. Adapun pemujaan roh besar, disamakan dengan pemujaan Hyang Wisnu, Hyang Siwa, dan Hyang Brahma yang disebut pemujaan tiga dewa atau trimurti. Tak lama kemudian, banyaklah penduduk di sini yang memeluk agama baru itu.

Sementara itu, banyak di antara para pendatang yang menikahi puteri para Penghulu penduduk desa. Kelak, anaknya akan menggantikan kedudukan kakeknya. Oleh karena itu, desa desa di Pulau Jawa makin lama makin dikuasai oleh keturunan kaum pendatang. Demikian pula penduduk dan kekayaannya. Segera pula penduduk menjadi tidak berdaya. Panghulu desa itu telah dijunjungnya menjadi sang penguasa. Putera pendatang baru atau cucu Sang Panghulu, menjadikan semua tanah sebagai miliknya atau berada di bawah kekuasannya.

Sementara itu, keadaan desa-desa tetap makmur dan hasil pertanian melimpah, karena Pulau Jawa subur tanahnya. Demikianlah pula pulau pulau lain di Dwipantara. Oleh karena itu, antara tahun 80 sampai 320 Saka, sangat banyak perahu yang datang dari berbagai negeri ke Pulau Jawa, di antaranya dari negeri India, China, Benggala, dan Campa. Banyak di antara mereka itu, yang membawa anak isteri berserta sanak keluarganya, lalu menetap di Pulau Jawa dan pulau pulau lain di Nusantara dan menjadi penduduk di situ.

Ada yang datang membawa perahu besar, ada yang datang beserta pendeta agarna Wisnu dan agama lainnya. Setiba di sini, mereka lalu mengajarkan agama mereka kepada penduduk desa. Kemudian mereka pun tinggal di situ. Adapun pendeta agama Siwa, datang dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, mengajarkan agama mereka kepada para panghulu dan pemuka masyarakat di sana.