Sejarah Desa Kaliwedi

Ki Surya angkasa adalah Putera dari istri selir Prabu Siliwangi yang datang merantau dari Garit (pajajaran) untuk mencari saudaranya Walang sungusang (Ki Kuwu Sangkan) dan Nyimas Lara Santang sedang menuntut ilmu di Cirebon ketika singgah di Astanya Pura, Ia mendapatkan ilmu aji “Bandung Bandawoso” kemudian menuju kawasan hutan yang didalamnya  terdapat sebuah sungai yang penuh dengan pasir disebelah barat laut untuk babat hutan dan dijadikan “KALIWEDI”. “Kali” artinya sebuah sungai, “Wedi” dalam bahasa jawa pasir. Ia kemudian dikenal dengan nama Ki GEDE kaliwedi.

Disamping Gelar KI Gede Kaliwedi Ki Surya Angkasa banyak memiliki gelar dan julukan, konon ia mempunyai sebutan hingga 101 nama seperti Ki Tulus, Ki Jopak, Ki Agus, Ki Syeh mangku  jati oleh karena ia saudara paling tua. Ki Kuwu Sangken apabila mengadakan “Hajat Ngunjungan” selalu lebih dahulu. Diawali dengan Astana Gunung Jati ketika dalam perjalanan menunaikan ibadah Haji ke Mekah dengan menaiki “Mancung”. Ki Sureya Angkasa mendapat serangan raksasa ombak selon dengan menggunakan “Bedama Pusaka” (jimat). Tombak sigagak ditusukan tombak itu ke perut raksasa hingga mati dan tombaknya tetap menancap diperut raksasa, sedangkan warangkahnya (sarungnya) dapat dibawa pulang hingga sekarang.

Sebelum mati raksasa  ombak selon itu sesumbar akan membalas dendam terhadap keturunan Ki Surya Ankasa yang menunaikan ibadah haji melalui jalan laut dan melewati ombak selon, oleh karena itu orang-orang Kaliwedi pantang menunuaikan ibadah haji melewati  jalan laut. Namun sejak pemerintahan menggunakan jasa angkutan udara masyarakat Kaliwedi banyak yang menunaikan ibadah haji. Setelah pertarungan yang melelahkan itu Ki Surya meneruskan perjalanannya untuk menunaikan ibadah haji di Mekah. 

Sekembalinya dari Mekah , Ia mendapatkan gelar Syah Mangkujati setelah perjalanan ke Desa takut sempat melihat Putri Heuleut uang sedang mandi dikolam tanpa sehelai benang pun yang terlihat di tubuhnya. Melihat keadaan demikian timbulah dibirahi Ki Surya Angkasa oleh karena Ia seorang yang sakti mandraguna nafsu birahinya dapat direndam, namun akibat birahinya itu Putri takut mejadi hamil lama-kelamaan kandungan sang heuleut membesar hingga lahirnya seorang anak laki-laki. Rasa malu pun menggeluti diri sang putri. Kini mempunyai anak tidak ber ayah untuk menghilangkan rasa malu itu dengan penuh haru. Anak yang baru dilahirkannya dibuang ke sungai Ciwaringin.

Disebuah Desa (sekarang di Desa Gegesik Kulon) sorang perempuan ketika sedang menjadi ikan disungai Ciwaringin ini perempuan yang bernama Nyimas Cupang itu tiba-tiba dikagetkan dengan benda terapung (kambang) yang lewat dihadapandan semakin kaget setelah benda itu didalamnya berisi seorang bayi laki-laki yang masih merah. Bayi merah yang kemudian diberi nama Limbang artinya ditemukan di kali dan kambang itu dibawanya pulang dan dirawat sebaik-baiknya sebagai anugerah yang kuasa. Kini telah cukup lama ia tinggal seorang diri setelah ditinggal oleh suaminya. 

Sejarah Desa Bakung

Dalam penyamarannya Ki Kuwu Cirebon di Gunung Kumbang, tinggal di blok Ardi Lawet bergelar Abujangkrek. Disitu Ki Kuwu memiliki dua orang putra yaitu seorang laki-laki bernama Sela Rasa dan perempuan bernama Sela Rasi.

Dijaman itu Ki Kuwu memasuki daerah Telaga, bertemu dengan seorang bernama Ki Wanajaya. Ki Wanajaya di telaga adalah seorang yang sakti mandraguna, di Telaga itu belum ada tandingannya. Dalam pertemuannya dengan Ki Kuwu, terjadilah selisih paham hingga terjadi perkelahian. Perkelahian dua orang sakti itu terjadi lama sekali, masing-masing mencari kelemahan lawannya. Tetapi belum seorangpun yang menunjukkan kelemahan untuk dapat dirobohkan salah seorang diantaranya.

Pada suatu saat diserangnya Ki Wanajaya dengan ajian Nini Badong yang berkhasiat mengeluarkan hawa dingin luar biasa. Ki kuwu mengarahkan ajian itu sangat tepat mengenai sasarannya,Ki Wanajaya menjadi tak berdaya. Ki Kuwu yang memiliki jiwa ksatria, lalu menunggu lawannya yang tak berdaya dan tidak berani menyerangnya sampai mati. Agaknya Ki Wanajaya sendiri merasakan, perlakuan lawannya tidak mudah dapat dilawannya. Ki Wanajaya menyerah minta ampun, dan Ki Kuwu dengan senang hati mengampuninya. Kemudian Ki Wanajaya mengikuti faham Ki Kuwu memasuki agama Islam.

Karena pernyataan Ki Wanajaya, Ki Kuwu berniat baik kepada Ki Wanajaya agar seterusnya tetap dalam Islam. Dimintakan kepada Ki Wanajaya agar memperistri putrinya yang bernama Sela Rasi. Ki Wanajaya mengajukan keberatan sehubungan usianya telah berjauhan dengan Sela Rasi. Ki Kuwu memberikan ilmu kepada Ki Wanajaya. Setelah ilmu itu diterima, berubahlah wajah Ki Wanajaya layaknya seorang perjaka. Ki Kuwu menyuruh Ki Wanajaya berkaca ke permukaan air agar mengetahui perubahan dirinya. Namun ditempat itu tidak ditemukan sebuah balong pun, segera Ki kuwu ditempatnya duduk mencungkil tanah, dari tanah yang dicungkilnya dikabulkan, timbullah sebuah balong yang airnya jernih sekali, Ki Wanajaya segera berkaca di balong tersebut. Ki Wanajaya tersenyum melihat tampangnya seperti perjaka kembali. Ki Kuwu menjelaskan, engkau telah kuberi Doa Janur Wenda yang telah engkau hafalkan. Doa yang telah engkau baca dikabulkan Allah, dan raut mukamu telah kembali seperti perjaka.

Ki Kuwu menunjukkan adanya binatang-binatang kecil yang disebut “Remis”, berada dipinggiran balong yang baru terjadi itu. Balong ini sebaiknya diberi nama Telaga Remis, dan tanah cungkilannya bawalah. Ki Wanajaya menurut kepada semua yang dikatakan Ki Kuwu. Ki Wanajaya kemudian dijodohkan dengan Nyi Sela Rasi, di tempatkan agar berdiam di sebuah daerah yang diberi nama Bakung. Ki Wanajaya hidup rukun bersama istrinya Nyi Selarasi di Bakung. Tanah cungkilan Telaga Remis disimpannya disebuah tempat yang diberi nama Tegal Angker. Tanah itu terletak di tapal batas blok Pager Toya dan Desa Suranenggala Kulon sekarang. Dikatakan pula oleh Ki Kuwu kelak dikemudian hari kalau tanah di Tegal Angker dipertemukan dengan air yang berasal dari Telaga Remis, tanah disana akan menjadi subur.

Berdasarkan pada cerita itu, pada masa jabatan Kuwu Bakung yang dipegang oleh Muh. Sidik, amanat itu telah dibuktikannya. Kuwu Muh. Sidik mencoba mengusahakan terjadinya air dari sungai Jamblang dapat menembus sampai ke Tegal Angker. Usahanya dibantu oleh rakyat setempat memperoleh hasil, kurang lebih tahun 1970, air dari Telaga Remis sampai ke Tegal Angker. Yang telah diamanatkan Ki Kuwu tersebut terbukti dan membuahkan hasil, Tegal Angker merupakan tanah yang subur.

Lambat laun perkampungan Bakung di kukuhkan menjadi Desa Bakung. Yang kemudian Desa Bakung dimekarkan menjadi dua Desa yaitu Desa Bakung Kidul dan Desa Bakung Lor, terjadi pada tahun 1980.

Nama-nama Kepala Desa Bakung Kidul setelah pemekaran tahun 1981 yang diketahui yaitu:
 
1.    Ki Banar                      :1811 – 1831
2.    Ki Sarijan                    :1831 – 1847
3.    KI Sardika                  :1847 – 1878
4.    Ki Saban Pego            :1878 -  1913
5.    Ki Dian Wirasastra    :1913 – 1929
6.    Ki Nata Atmaja          :1929 – 1946
7.    H.Kasan                       :1946 – 1965
8.    Moh Sidik                    :1965 – 1974
9.    Curiga Wijaya             :1974 – 1976
10.  Amat(Pjs)                   :1976 – 1978
11.   Sani Sontani               :1978 – 1981
12.   Pranajaya(pjs)           :1981 – 1985
13.   H. Turisa                    :1985 – 1994
14.   Sarwiya(Pjs)              :1994 – 1995
15.   H.Trisa                       :1995 -  2003           
16.   H. Tien Suhartono    :2003 – Sekarang

Nama-nama Kepala Desa Bakung Lor

1.    Sani Sontani                :1981 – 1989
2.    Tarkina                       :1989 – 1996
3.    Carkila(Pjs)                :1996 – 1997
4.    Hasanudin(Pjs)          :1997 – 2001
5.    H. Toto Abiyanto       :2001 – Sekarang    

1

Sejarah Desa Ujunggebang

Situs Nyi Buyut Ujunggebang
Ketika Syarif Hidayatullah dinobatkan menjadi raja di Keraton Pakungwati Cirebon sebagai Sunan di Gunung Jati sekitar tahun 1482M, beliau memiliki bhayangkari Kerton Pakungwati yang sangat tangguh dipimpin oleh Pangeran Carbon (putranya Mbah Kuwu Cakrabuana) atau disebut Senopati Yudalaga (Panglima Perang Keraton Cirebon).

Salah satu bawahan Pangeran Carbon yang patuh, setia dan pemberani adalah Anyung Brata ("a"= aku, "nyung" = selalu siap siaga, "brata" = perang) yang selalu berada di barisan terdepan ketika terjadi kerusuhan, peperangan dan keributan, karena keberanainya itulah Anyung Brata selalu disayang oleh Pangeran Carbon sebagai panglima perang.

Untuk menambah keprawiraan dan pengetahuan keagamaannya, Pangeran Carbon dan Anyung Brata berguru ilmu kepada seorang wali yang dianggap mumpuni dalam kema'rifatan yakni Syekh Lemahabang/Syekh Siti Jenar/ Syekh Jabal Rantah.

Namun kemudian, Dewan Wali menganggap ajaran Syekh Lemahabang menyimpang karena tidak sesuai dengan syariat Islam, dan dianggap mengganggu proses penyebaran syariat Islam.

Untuk menghindari pertumpahan darah antara pasukan Demak dan Cirebon, sesepuh Cirebon, Mbah Kuwu Cirebon dan para pelaksana hukum serta para senopati Keraton Cirebon yaitu Pangeran Kejaksan, Pangeran Panjunan, Ki Ageng Bungko dan Pangeran Carbon, menyarankan agar yang diadili adalah Syekh Lemahabang saja sebagai Mahaguru yang harus mempertanggungjawabkannya. Usulan itu disepakati kemudian diadakan sidang tuntutan/ gugatan para wali kepada Syekh Lemahabang yang digelar di Masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon.

Untuk menenangkan diri dan menahan diri jangan sampai terjadi perang saudara (perang kadang ibur batur), Anyung Brata membawa istri tercintanya Nyi Mas Kejaksan, puterinya, dan abdinya yang setia yaitu Ki Gawul (Ki Tambak) dan Ki Santani (Ki Bogo), yang berasal dari daerah Pasundan. Mereka meninggalkan Keraton Pakungwati ke arah barat daya Wilayah Keraton Pakungwati Cirebon di perbatasan wilayah Darma Ayu (Indramayu). Anyung Brata dan pengikutnya menyamar seperti masyarakat biasa lalu membuka hutan untuk dijadikan Pedukuhahan.

Untuk mengatasi kebutuhan akan perairan, dibuatlah sumur pertama yang diberi nama Satana (asat tapi ana – sedikit tapi ada). Karena air dari sumur tersebut terasa asin seperti air laut, Anyung Brata mencari lokasi/tanah yang tepat ke arah tenggara. Dan dibukalah sumur yang kedua, yang mengeluarkan air deras, rasanya tawar dan diberi nama Sumuran.

Tanah hasil bukaan hutan tersebut sangat subur, cocok untuk pertanian dan palawija. Anyung Brata membabat hutan untuk dijadikan sawah dan diberi nama Blok Sri Berkah ("sri" = padi, "berkah" diharapkan mendapat berokah) atau dinamai Si Berkat.

Sejarah yang sangat berkaitan dengan Ujunggebang adalah ketika seorang putri dari wilayah Darma Ayu (Indramayu) yang bernama Nyi Mas Pandansari atau disebut juga Nyi Mas Junti melarikan diri dari kejaran seorang saudagar kaya dari negeri Cina yang hendak meminangnya yang bernama Sam Po Kong/ Sam Po Toa Lang atau disebut Dampo Awang dan ditolong oleh Seorang wali bernama Syekh Benthong.

Singkat Cerita, setelah melalui wilayah – wilayah yang dikemudian hari diberi nama Desa Junti Kedokan, Junti Kebon, Juntiwedhen dan Juntinyungat, singgahlah Nyi Mas Pandansari di sebuah sumur di Desa Cadangpinggan (wilayah Kertasemaya, Indramayu untuk sekedar melepas haus (selanjutnya sumur tersebut dikenal dengan nama Sumur Pandansari).

Kemudian Syekh Benthong dan Nyi Mas Junti berjalan kaki memasuki wilayah kekuasaan Keraton Cirebon, bertemu dengan Anyung Brata yang sedang menggarap sawah Sri Berkah/Si Brekat. Setelah berkenalan Syekh Benthong menitipkan Nyi Mas Pandansari/Nyi Mas Junti kepada Anyung Brata dan menceriterakan perihal Nyi Mas Junti.

Untuk mengecoh Dampo Awang yang masih mengejarnya, Syekh Benthong menghambat perjalanan dengan cara memperdaya pandangan Dampo Awang di Hutan/ Alas Walisurat.
Selanjutnya keselamatan Nyi Mas Pandansari/Nyi Mas Junti diserahkan kepada Anyung Brata. Kemudian Syekh Benthong pun melanjutkan perjalanan.

Karena khawatir keberadaan Nyi Mas Junti diketahui oleh Dampo Awang, maka Anyung Brata menyembunyikan Ny Mas Junti di puncak pohon Gebang (Corypha umbraculifera, sejenis palma tinggi besar dari daerah dataran rendah) yang daunnya lebat menyerupai kipas sehingga tidak terlihat.

Peristiwa tersebut diabadikan dengan memberikan nama pedukuhan tersebut dengan nama Pedukuhan Ujunggebang ("ujung" = pucuk, "gebang" =pohon Gebang). Kini Pedukuhan Ujunggebang menjadi Desa Ujunggebang.

Terpedaya dengan Syeikh Benthong, Ki Dampo Awang mencari berputar-putar sehingga kelelahan dan beristirahat di tepi sebuah parit (kalen sepuluh)
Atas pertanda yang diberikan Syekh Benthong, akhirnya Ki Dampo Awang pergi ke suatu daerah yang bernama Trusmi untuk menemui bakal jodohnya dan merelakan untuk menyudahi pencariannya atas Nyi Mas Pandansari.

Sepeninggal Dampo Awang, Nyi Mas Junti dilepaskan, lalu menikah dengan Anyung Brata menjadi istri kedua.

Di pedukuhan tersebut, yang diberi tugas pengamanan Padukuhan adalah Ki Gawul dan Ki Santani. Ki Gawul bertugas jaga malam mengelilingi desa dengan naik kuda dan pos jaga di Wangan Jagadalu/ perbatasan Ujunggebang - Desa Bunder, sedangkan Ki Santani bertugas jaga siang dengan berkuda mengelilingi desa dengan pos jaga di Sungai Jagasiang (sebelah timur Desa Ujunggebang).

Oleh karena mereka bekerja tanpa pamrih, sebagai rasa terima kasih masyarakat padukuhan Ujunggebang senantiasa memberi sedekah berupa uang, kue atau makanan lainnya kepada mereka.
Jasa lain Ki Gawul adalah kemampuannya membendung (nambak) Kedungparen yang curam dan sulit dilewati oleh masyarakat yang akan menuju Situs Buyut Murti/ Makam Kidul. Karena jasanya tersebut, Ki Gawul disebut Ki Tambak.

Setelah Anyung Brata wafat, sebagai balas jasa sebagai bayangkari keraton Pakungwati, dan untuk mempererat hubungan antara kawula dan gusti, Anyung Brata dimakamkan di kompleks Makam Sunan Gunung Jati di sebelah barat (blok Pamungkuran).

Sedangkan jenazah Nyi Mas Kejaksan disemayamkan di pedukuhan Ujunggebang, begitu pun Nyi Mas Pandansari/ Nyi Mas Junti. Oleh karena itu setiap tahun acara Mapag Sri dan Unjungan, sebagian masyarakat dari Desa Juntikedokan, Juntikebon, Juntiwedhen dan Juntinyungat datang berziarah di Makam Nyi Mas Junti yang berada di Desa Ujunggebang.

Makam Nyi Mas Kejaksan dan Nyi Mas Junti dipelihara oleh abdinya yang setia yaitu Buyut Jembar sampai dengan keturunannya (sebagai juru kunci).
Adapun Ki Santani setelah wafat dimakamkan di Situs Ki Bogo yang berada di tengah pedukuhan, sementara Ki Gawul dimakamkan di pojok sebelah tenggara Desa Ujunggebang di dekat Kedungparen yang ditambak olehnya. Masyarakat Ujunggebang menyebutnya Situs Ki Tambak.

Wallahu a'lam bisshowab

Nama-nama Kuwu Ujunggebang yang diketahui:
  1. Demang Baskara – 1799
  2. Rantisem 1799 – 1815
  3. Sinjran 1815 – 1823
  4. Rasijan 1823 – 1832
  5. Karmen 1832 – 1843
  6. Tap 1843 – 1847
  7. Kasam 1847 – 1867
  8. Nasitem 1867 – 1874
  9. Nasipan 1874 – 1880
  10. Wanti 1880 – 1890
  11. Wanakriya 1890 – 1906
  12. Jarih 1906 – 1909
  13. Latiyem 1909 – 1914
  14. Jatmina 1914 - 1915 (17 bulan)
  15. Sarmina 1915 – 1919
  16. Jaelani 1919 – 1924
  17. Latiyem 1924 – 1948
  18. Warnita 1948 – 1954
  19. Sukami 1954 – 1958
  20. Kasdiyah(Pjs.) 1958 – 1959
  21. Kasmita 1959 – 1966
  22. Ading (Pjs.) 1966 – 1968
  23. Rumita 1968 – 1987
  24. Waryuni (Pjs.) 1987 (3 bulan)
  25. Sunita (Pjs.) 1987 – 1988
  26. Kurman 1988 – 1996
  27. Nasika (Pjs.) 1997 – 1999
  28. Tarmadi (Pjs.) 2000 – 2001
  29. Drs. Tarudin, M.Si. 2001 – 2011
  30. Nono Paryono (Pjs.) 2011 – 2011
  31. Kasudin Mukamil 2011 – Sekarang